Senin, 01 Juli 2013

Aku Diam-diam Menunggumu, di Sini.

“Jangan lupa jam tiga nanti, ya.” 

Aku membalas singkat pesan masuk tersebut dari teman SMA-ku. 

“Oke, sip!”

Aku bergegas merapikan diri. Kukenakan pakaian terbaikku untuk menghadiri acara ulang tahun temanku sore ini; kemeja berwarna merah ditambah dengan dasi hitam yang akan menambah nilai rapih. Tak butuh waktu lama, kuambil kunci motor lalu pergi menuju acara tersebut.
Seperti biasanya jalan di sekitar sini memang sering sekali macet. Aku tak ambil pusing. Dengan sabarnya aku menyalip beberapa mobil di depanku sambil bernyanyi-nyanyi kecil layaknya orang yang tak dikejar waktu. Padahal pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul dua lewat empat puluh menit. Ya, aku harus cepat agar tidak terlambat. 

(Lima belas menit berlalu..)

“Haaaah..” 

Dari kejauhan sudah tampak rumah tempat teman SMA-ku tinggal. Tepat di depan rumahnya, kuparkir motor yang kugunakan, lalu menghampiri sang tuan rumah. Dia adalah Mira yang pada saat itu berada di depan halaman rumah. Tanpa basa-basi aku langsung mengatakan kalimat ucapan ulang tahun yang cukup sederhana.

“Hei! Selamat ulang tahun ya, Mira.” Ucapku sambil mengejutkannya. 

“Eh, Ryan. Akhirnya kamu datang juga. Makasih yah.”

Aku berbincang-bincang dengannya tentang apa saja yang menurut kita asik. Aku dan Mira larut dalam obrolan seru, sampai tanpa sadar, sudah banyak yang berdatangan. 




“Selamat datang semuanya!” Mira menyambut mereka dengan ramah.

Ruangan mendadak riuh. Kulihat semua teman sekelasku tampak menghadiri acara ini. Sampai suatu ketika, aku melihat satu perempuan sedang duduk di pojok yang pada saat itu mengenakan gaun biru yang menurutku cantik. 

Ah, dia adalah Vina. Perempuan yang selama ini kudambakan. Setahun mencintai diam-diam sejak mengenalnya di kantin sekolah. Bagiku, dengan mencintai diam-diam, aku tidak perlu merasakan patah hati. Bagaimana pun dia, aku mencintainya. Memang terdengar gila, tapi begitulah adanya.

Menatap wajahnya yang sayu adalah kebahagiaanku. Menatap matanya yang sendu adalah caraku mengagumi ciptaan Tuhan. Bahkan, senyumnya adalah surga kecil bagiku. Ya. Aku nyaman dengan mencintainya diam-diam. Kuakui aku memang pengecut, tapi beginilah cara merawat hatiku. 

Hampir dua puluh menit berlalu. Pesta tampak semakin seru. Aku masih saja  menatapnya sambil mengaduk sirup yang sudah lama kuaduk itu. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk menghampirinya. Dengan mantap aku berjalan ke arahnya.

“Hai, Vin.” Kusapanya mantap dengan berani. 

Lalu dia menaruh gelas berisikan sirup. Sambil tersenyum dengan manisnya, dia menyambutku.

“Hai, Yan. Sini..” 

Aku duduk tepat di sampingnya dengan jantung yang berdebar-debar. Ah, aku memang tak terbiasa duduk tepat di samping bidadari secantiknya. Obrolan tentang berbagai topik mengalir lancar.

Kita memang sudah lama dekat. Ya, sebagai sahabat. Bagiku, mencintai diam-diam adalah pilihan yang tepat. Aku tak mau merusaknya dengan kalimat sesederhana aku-cinta-kamu. 

(Satu jam berlalu sejak aku berbincang dengannya..)

“Hei, ayo. Waktunya kita makan!” 

Teriak Mira memotong perbincanganku dengan Vina. Kita berdua dan orang-orang yang hadir langsung saja berbaris untuk antre makanan. Ah, ini bagian yang sangat penting dalam pesta.

Setelah mengantre makanan kita berdua melanjutkan perbincangan di sebuah meja makan yang kebetulan sekali hanya untuk dua orang layaknya dua sejoli sedang candle light dinner. 

“Kini ku.. Ingin hentikan waktu. Bila kau berada di dekatku~” Dalam hatiku bernyanyi potongan lirik lagu Adera – Lebih Indah.

Berlama-lama di acara itu kita habiskan dengan memperbincangkan hal-hal lucu. Sampai-sampai kita berdua tertawa bersama. 

Sampai-sampai tak terasa jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kita berdua sama sekali tidak kehabisan topik. Kita terlalu larut dalam perbincangan hal-hal aneh.

“Wah, nggak terasa udah jam delapan aja, ya.” Kata Vina mengernyitkan dahinya sambil menoleh ke arah jam dinding. 

“Haha, iya. Kita terlalu asik ngobrol, sih.” Jawabku santai.
(Iya, aku terlalu nyaman denganmu.)  Dalam hatiku berkata. 

Vina mengambil tas yang berada di bawah kursi sambil membereskan barang-barangnya. Tampak seperti orang yang sedang terburu-buru ingin pulang.

“Maaf, ya. Aku harus buru-buru pulang. Aku nggak boleh pulang larut malam.” Katanya dengan wajah sedikit cemas. 

“Mau aku antar, Vin?” Tanyaku cemas.

“Ah, nggak usah. Aku bisa sendiri. Bye!” 

Dia langsung pergi keluar sambil memanggil taksi. Aku menghela napas. Berharap-harap cemas.  Semoga tidak terjadi apa-apa dengannya.

“Vina kasihan ya. Kayaknya dia pulang karena cemburu liat Irwan pacaran sama Angel kali, ya?” 

Terdengar di telingaku Mira berkata seperti itu dengan teman-temannya. Dalam hatiku menangis mendengarnya. Ah, ternyata Vina masih sayang sama Irwan toh.

Cemburukah aku? Tentu. Seharusnya aku tidak berhak cemburu. Sebab aku bukan pacar Vina. Aku tak punya kewajiban untuk cemburu. Seperti biasa aku tetap diam. Apa aku harus menyatakan perasaanku? Dengan begitu dia akan tahu, bahwa aku bersungguh-sungguh menunggu, di sini. Karena aku percaya; perlu menyatakan untuk menyatukan. :( 

5 comments:

Muhammad Gusti mengatakan...

pertamax hanya untuk writer. B)

Anonim mengatakan...

mantap!

Anonim mengatakan...

"Karena aku percaya; perlu menyatakan untuk menyatukan." Kata-kata terakhir ini keren. Cuma rada ganjil pas ngebaca bagian akhirnya. Soalnya diawal gak dibahas soal hubungannya si Vina gitu, tapi pas di akhir malah mendadak nongol mantannya.

Sama, itu udah ending ceritanya? Gantung banget, kayaknya itu masih bisa dikembangin lagi deh.

Muhammad Gusti mengatakan...

Terima kasih untuk masukannya.
Gue kan udah bilang, endingnya kurang greget. Susah juga nyarinya.

Muhammad Gusti mengatakan...

:)

Posting Komentar

 
;